Tata Laksana Koinfeksi HIV dan Hepatitis C : Fokus Pada Direct Acting Antiviral (DAA)

Tanggal : 09 Jul 2020 15:57 Wib


 RESTUTI HIDAYANI SARAGIH
 RENTI WORO SISMIATUTI

1Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2RSUP H.Adam Malik Medan
email : restuti@usu.ac.id
 

Pendahuluan
Hepatitis C merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia dengan angka prevalensi dan komplikasi yang cukup tinggi. Seiring dengan meningkatnya insidens HIV maka koinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan virus hepatitis C telah menjadi masalah yang semakin banyak dijumpai di dunia.
Selama lebih dari satu dekade, pengobatan untuk hepatitis C adalah kombinasi peginterferon dan ribavirin (PegIFN/RBV), akan tetapi kombinasi ini dikaitkan dengan rendahnya respon imunologis menetap/Sustained Virologic Response (SVR) terutama pada koinfeksi HIV dan hepatitis C.1 Kemajuan pesat obat anti virus hepatitis C menghasilkan suatu penemuan kelas baru dari anti virus, yaitu Direct Acting Antiviral (DAA), suatu agen anti virus yang bekerja secara langsung pada fase replikasi virus hepatitis C.
Saat ini, DAA telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Pedoman baru telah dikeluarkan oleh American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) dan Infectious Diseases Society of America (IDSA)  bahwa agen DAA dapat diberikan dengan atau tanpa RBV.2,3

Prevalensi Infeksi Virus Hepatitis C pada HIV di Indonesia
Berdasarkan laporan UNAIDS pada tahun 2013, Indonesia merupakan salah satu negara dengan peningkatan kejadian infeksi HIV tertinggi di Asia, dan diperkirakan peningkatan ini akan terus terjadi hingga tahun 2020.4 Adanya kesamaan cara penyebaran infeksi HIV dengan infeksi virus hepatitis C (HCV)  menyebabkan tingginya angka kejadian koinfeksi HIV dan HCV.5 Pada studi yang dilakukan oleh Yunihastu dkk pada klinik Pokdisus AIDS Rumah sakit Cipto Mangunkusomo menunjukkan angka kejadian koinfeksi HIV dan (HCV) yang tinggi. Studi terhadap 3.613 pasien yang baru terdeteksi HIV pada tahun 2004 hingga 2009, ditemukan HCV positif pada 67,9% pasien.6 Sementara data yang ada pada Pusyansus (Klinik Perawatan, Dukungan dan Pengobatan/PDP) di RSUP H.Adam Malik mulai dari Januari 2015 hingga September 2016, terdapat 360 pasien yang terinfeksi HIV baru, dan sekitar 4% atau sebanyak 14 pasien yang mengalami koinfeksi HIV dan HCV.

Diagnosis Koinfeksi HIV/HCV
Semua pasien HIV harus dilakukan skrining untuk koinfeksi HCV dengan tes serologi, Begitu juga dengan pasien HCV, harus dievaluasi untuk koinfeksi HIV.1,5,6 Pada individu dengan immune compromised status, maka antibodi HCV dapat negatif palsu, dan perlu dipertimbangkan untuk pemeriksaan HCV RNA.6,7
Dengan terdeteksinya antibodi HCV, tidak memastikan adanya infeksi yang aktif, sekitar 10-25% individu koinfeksi dan monoinfeksi akan secara spontan membersihkan virus. Pemeriksaan HCV RNA harus dilakukan sesudah ditemukannya positif HCV pada pemeriksaan skrining, untuk menyingkirkan adanya spontaneous clearance.6
Individu dengan HCV RNA positif harus melakukan pemeriksaan genotipe, supaya dapat menentukan terapi selanjutnya.1,5,6,8 Individu dengan data dasar HCV RNA negatif, harus dipertimbangkan untuk menjalani pemeriksaan ulang, untuk memastikan ada tidaknya infeksi kronik, paling tidak satu kali, terutama jika terjadi peningkatan ALT.6
Semua individu harus melakukan skrining kekebalan hepatitis A (IgG anti hepatitis A) dan hepatitis B (HBsAg, AntiHBs dan anti HBc) dan harus dilakukan vaksinasi jika berstatus  nonimmune.1,5,6 Jika individu juga mengalami infeksi kronis hepatitis B, maka harus dinilai untuk dilakukan terapi.5
 
 Tata Laksana Pasien Koinfeksi HIV dan Hepatitis C
             Inisiasi terapi didasarkan atas pemeriksaan klinis dan laboratorium. Inisiasi terapi antiviral untuk Hepatitis C  pada pasien koinfeksi HIV dan HCV didasarkan pada hitung jumlah CD4. Pasien yang tidak membutuhkan terapi antiviral untuk hepatitis C adalah pasien dengan karakteristik sebagai berikut : CD4 ≥ 350 sel/mm3 dan tidak ada tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, antibodi HCV positif tetapi tidak ada tanda replikasi RNA HCV. Pasien yang tidak membutuhkan terapi tetap memerlukan pemantauan yang ketat setiap 6 bulan, (pemeriksaan klinis dan fungsi hati) dan setiap 3 tahun untuk melihat histologi lesi hati.5
                Terapi dapat dimulai lebih awal pada pasien koinfeksi apabila didapati kondisi dimana progresivitas penyakit hati berjalan cepat dibandingkan dengan pasien dengan monoinfeksi hepatitis C, ataupun pasien dengan risiko tinggi mengalami hepatotoksisitas setelah inisiasi terapi anti retroviral (ART). Pada infeksi hepatitis C akut, terapi dilakukan untuk mencegah infeksi virus menjadi kronik. Terapi dimulai apabila dalam 3 bulan setelah awal munculnya tanda dan gejala klinik, HCV RNA tidak dapat dieliminasi secara spontan. Terapi terpilih untuk kondisi ini adalah pegylated interferon (α2a dan α2b) dan ribavirin.5
Progresi menjadifibrosis hati menjadi lebih cepat pada koinfeksi HIV-HCV, terutama pada individu dengan jumlah CD4 rendah (≤350 sel/mm3). Data dari studi kohort retrospektif menunjukkan inkonsistensi pengaruh ART terhadap perjalanan alamiah HCV. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa ART dapat memperlambat perkembangan penyakit hati dengan menjaga atau memulihkan fungsi kekebalan tubuh dan dengan mengurangi inflamasi.5 Oleh karena itu, ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV, tanpa melihat jumlah CD4.1,5,6  Di waktu yang lalu, pada pasien HIV yang naive dengan jumlah CD4 >500 sel/mm3, beberapa klinisi memilih untuk menunda ART sampai pengobatan HCV selesai, untuk menghindari interaksi obat.1 Bila dibandingkan dengan pasien dengan jumlah CD4 >350 sel/mm3, maka pasien dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3 mempunyai tingkat respon terapi yang lebih rendah dan memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi disebabkan karena PegIFN/RBV.5 Data yang ada masih sedikit mengenai respon terhadap terapi kombinasi dengan agen DAA pada pasien yang mengalami kondisi imunosupresi tahap lanjut. Untuk pasien dengan jumlah CD4 lebih rendah (<200 sel/mm3), ART harus segera diberikan dan terapi HCV dapat ditunda sampai pasien stabil.1,5 Saat inidi Indonesia, berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana HIV yang diterbitkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di tahun 2019, ART diberikan pada semua orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan segera, berapa pun kadar CD4-nya.9  
          Di tahun 2011, telepravir dan bocepravir telah disetujui penggunaanya untuk HCV genotipe 1, dan ini merupakan generasi pertama dari DAA. Keduanya harus diberikan bersamaan dengan pegylated interferon dan ribavirin. Triple therapy ini memang mencapai nilai sustained virological response (SVR) yang lebih baik daripada dual therapy (75% dengan 65%), namun mengingat efek samping dan biaya yang besar maka dicari pilihan lain yang lebih terjangkau dan toleransi yang lebih baik.10
          Kemudian pada tahun 2014 terdapat DAA baru yang disetujui penggunaannya di Eropa sebagai bagian dari terapi untuk infeksi HCV, salah satu diantaranya adalah sofobusvir, simeprevir, daclatasvir.9 Di Indonesia sendiri setidaknya sudah ada 5 obat DAA yang sudah teregistrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yaitu sofosbuvir, simeprevir, sofosbuvir + ledipasvir, grazoprevir + elbasvir dan daclatasvir.11
Tabel 1. Rekomendasi Terapi Pasien Koinfeksi HIV/HCV tanpa IFN11
Pengobatan koinfeksi HIV-HCV secara bersamaan adalah mungkin, akan tetapi akan dipersulit dengan adanya beban meminum tablet yang banyak, interaksi obat dan toksisitas. Pada keadaan ini, maka tahap dari penyakit hepatitis C harus dipastikan, agar dapat menentukan pengobatan HCV serta membuat keputusan kapan dimulai pengobatan. Jika keputusannya adalah memberikan pengobatan HCV, maka regimen ART harus dimodifikasi sebelum pengobatan HCV dimulai, untuk mengurangi potensi interaksi obat dan/atau toksisitas yang mungkin timbul pada saat pengobatan HIV dan HCV dilakukan secara bersamaan. Pada pasien dengan kadar plasma HIV RNA tersupresi maka dengan pemberian modifikasi ART, HIV RNA harus dinilai dalam waktu 4 sampai 8 minggu sesudah merubah terapi HIV untuk mengkonfirmasi efektivitas dari regimen baru. Sesudah pengobatan HCV selesai, maka modifikasi regimen ART harus dilanjutkan sampai paling tidak 2 minggu sebelum memulai kembali regimen yang lama/original. Melanjutkan regimen modifikasi dibutuhkan, karena waktu paruh yang lama dari beberapa obat HCV dan adanya potensi interaksi obat jika regimen lama dimulai kembali segera setelah pengobatan HCV selesai.1

Interaksi Obat
Sofobusvir adalah termasuk HCV NS5B nucleotide polymerase inhibitor, yang tidak dapat dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom P450 dan oleh karena itu dapat digunakan dalam kombinasi dengan banyak obat ARV. Tidak ada ditemukan interaksi farmakokinetik antara sofobusfir dan ARV.1
Pemberian ledipasvir/sovosbufir secara bersamaan dengan regimen ARV yang mengandung tenofovir disoproxil fumarate (TDF) berhubungan dengan meningkatnya paparan TDF, terutama ketika TDF diberikan bersama dengan protease inhibitor (PI), Pada beberapa pasien, pilihan alternatif obat HCV atau ARV harus dipertimbangkan untuk menghindari meningkatnya paparan TDF. Namun jika obat tetap diberikan secara bersamaan, maka pasien harus dimonitor potensi adanya gangguan fungsi ginjal yang disebabkan oleh TDF, dengan menilai fungsi ginjal (klirens kreatinin, fosfor serum, glukosa urin dan protein urin) sebelum pengobatan HCV dimulai dan secara periodik selama pengobatan.1
Daclatasvir adalah NS5A inhibitor yang disetujui penggunaannya bersama sofobusfir. Daclatasvir adalah substrat dari CYP3A dan inhibitor dari P-gp, OATP1B1/3 dan BCRP. Induser kuat dari CYP3A, seperti evafirenz dan nevirapin, dapat menurunkan kadar daclatasvir didalam plasma dan menurunkan efek terapeutiknya. Pada kasus ini, maka dosis daclatasvir harus ditingkatkan dari 60 mg/hari menjadi 90 mg/hari. Sebaliknya inhibitor CYP3A yang kuat, dapat meningkatkan kadar daclatasvir didalam plasma, sehingga dosis harus diturunkan menjadi 30 mg/hari.1

Kesimpulan
Terapi DAA telah membawa revolusi di dalam tata laksana HCV pada pasien koinfeksi HIV dan HCV. Inisiasi terapi antiviral untuk Hepatitis C  pada pasien koinfeksi HIV dan HCV didasarkan pada hitung jumlah CD4. Terapi dapat dimulai lebih awal pada pasien koinfeksi apabila didapati kondisi dimana progresivitas penyakit hati berjalan cepat dibandingkan dengan pasien dengan monoinfeksi hepatitis C, ataupun pasien dengan risiko tinggi mengalami hepatotoksisitas setelah inisiasi terapi anti retroviral (ART). Sangat penting untuk melakukan pemantauan berkala terkait kemungkinan terjadinya interaksi obat, juga mempertimbangkan regimen ART atau pilihan alternatif obat HCV.
 
Daftar Pustaka
  1. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1 infected adults and adolescents. 2016. Available from: http://www.aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/AdultandAdolescentGL.pdf.
  2. American Association for The Study of Liver Diseases. Recommendations for testing, managing, and treating hepatitis C. 2016. Available from: http://www.hcvguidelines.org.
  3. Infectious Diseases Society of America. Recommendations for testing, managing, and treating hepatitis C. 2016. Available from: http://www.hcvguidelines.org
  4. Global Report. UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013. Available from:  http://www.unaids.org/en/resources/campaigns/globalreport2013/globalreport.
  5. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Petunjuk klinis koinfeksi HIV-HCV 2014.Dapat diakses pada : http://spiritia.or.id/dokumen/juknis-hivhcv2014.pdf
  6. Yunihastuti E, Djoerban Z, Gani RA. Coinfection of hepatitis B and C among HIV infected patients: a database of HIV Clinic Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta 2004-2009, 2011.
  7. European Association for The Study of The Liver. EASL recommendations on treatment of hepatitis C 2015. Journal of Hepatology 2015;63:199-236.
  8. Hull M, Shafran S, Wong A, et al. CIHR Canadian HIV trial network coinfection and concurrent diseases core research group: 2016 Updated Canadian HIV/Hepatitis C Adult Guidelines for Management and Treatment. Canadian Journal of Infectious Diseases and Medical Microbiology 2016:1-34.
  9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tata Laksana HIV. Jakarta, 2019, hal.33.
  10. Andrew O, Raja K. The role of direct acting antivirals in chronic hepatitis C treatment update. Journal Antivirals and Antiretrovirals. 2016:54-59.
  11. European AIDS Clinical Society. Clinical management and treatment of HBV and HCV coinfection in HIV positive persons 2015;8:67-74.

Post Terkait

Retensio Urine Post Partum

Tanggal Publikasi: 09 Jul 2020 13:41 | 51341 View

Retensio urin postpartum (RUP) adalah fenomena umum pada masa nifas, dengan prevalensi bervariasi antara 1,5% dan 45%.1 Retensio urin postpartum didefinisikan sebagai tidak adanya proses berkemih spontan atau tidak dapat…

Selengkapnya

Tatalaksana Gangguan Berkemih pada Penderita Parkinson

Tanggal Publikasi: 30 Aug 2018 15:22 | 3602 View

Parkinson Disease (PD) merupakan suatu penyakit neurodegenerative yang bersifat kronis dan domina n menyerang fungsi motoris. PD diduga disebabkan karena adanya kekurangan dopamine pada substansia nigra.

Selengkapnya

Diagnosa dan Tatalaksana Overaktif Bladder

Tanggal Publikasi: 30 Aug 2018 15:08 | 4992 View

Overaktif bladder (OAB) banyak dijumpai dan memiliki dampak negatif terhadap kualitas hidup pasien. Penting bagi dokter untuk mengetahui bagaimana mengidentifikasi dan menatalaksana pasien dengan kondisi ini.

Selengkapnya

Paparan Televisi dan Perkembangan Bahasa pada Anak

Tanggal Publikasi: 30 Aug 2018 14:54 | 2434 View

Perkembangan bahasa merupakan salah satu perekembangan yang paling penting pada anak, karena merupakan indikator dari seluruh perkembangan pada anak. Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap perkembangan bahasa…

Selengkapnya