Kehamilan Pada Wanita Rhesus Negatif

Tanggal : 10 Jul 2020 17:44 Wib


 
Yuvens S, Pribakti B
Departemen Obstetri dan Ginekologi
FK Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
 
Pendahuluan
Hemolytic Disease of the Fetus and Newborn (HDFN) adalah salah satu komplikasi kehamilan yang berat. Hingga tahun 1960-an HDFN merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas perinatal. HDFN saat ini sudah jarang terjadi di sebagian negara maju, tetapi HDFN masih menjadi salah satu komplikasi kehamilan yang berat di beberapa negara berkembang dan negara dengan status perekonomian yang rendah. Penyebab paling umum dari HDFN adalah inkompatibilitas Rh dengan ditandai dengan  terbentuknya antibodi maternal dari seorang ibu Rh- yang kemudian akan melawan antigen-D pada permukaan eritrosit bayi dengan Rh-.(1)
Inkompatibilitas Rh dapat menyebabkan komplikasi kehamilan yang berat, tetapi jika dapat didiagnosis dan ditatalaksana secara tepat maka prognosis dari penyakit ini sangatlah baik.(2) Oleh karena itu, sangat penting bagi  tenaga kesehatan untuk mengetahui secara komprehensif tentang inkompatibilitas Rh pada kehamilan agar dapat mencegah komplikasi berat kehamilan tersebut.
 
Sistem Klasifikasi Rhesus
Sistem klasifikasi rhesus merupakan sistem penggolongan darah terpenting kedua setelah sistem ABO. Secara klinis sistem rhesus merupakan sistem klasifikasi yang penting karena berhubungan dengan anemia hemolitik pada neonatus, transfusi, dan autoimmune hemolytic anemia (AIHA). Sistem ini mengklasifikasikan darah menjadi rhesus positif dan rhesus negatif berdasarkan ada tidaknya antigen-D pada permukaan eritrosit.
Antigen D merupakan antigen rhesus utama yang ada pada permukaan eritrosit. Apabila terdapat antigen-D pada permukaan eritrosit (dengan genotif D/D atau D/d), maka dikatakan golongan darah rhesus positif (Rh+), begitu pula sebaliknya. Apabila tidak ditemukan antigen-D pada permukaan eritrosit, maka dikatakan golongan darah rhesus negatif  (Rh-).,(3,4)
Sistem penggolongan darah rhesus berbeda dengan sistem penggolongan ABO. Pada sistem rhesus, antibodi anti-Rh biasanya tidak ditemukan pada orang dengan Rh-, namun antibodi anti-Rh akan muncul pada orang dengan rhesus negatif apabila peredaran darah orang tersebut telah terpapar dengan  antigen-D (Rh+). Antibodi anti-Rh ini merupakan immunoglobulin G (IgG) dan oleh karena antibodi ini dapat melintasi plasenta, sehingga pada ibu hamil dengan Rh- yang mengandung anak dengan Rh+ dapat membentuk antibodi anti-Rh pada kehamilan selanjutnya.(3)
 
Distribusi Golongan Darah Rh+ DAN Rh-
 
Secara umum, golongan darah Rh+ lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan golongan darah Rh-. Berikut adalah distribusi golongan darah Rh+ dan Rh- berdasarkan ras dan etnis yang ada di dunia (gambar 1).(4)

Gambar 1. Distribusi golongan darah Rh+ dan Rh- berdasarkan ras dan etnis.(4)
 
Genotif, Fenotif dan Sistem Herediter Rhesus
Berdasarkan sistem klasifikasi Rh, terdapat tiga genotip yang berbeda untuk resus (GD = {dd, Dd, DD}) dan dua fenotip (FD = {d, D}. Genotip merupakan kode genetik yang menentukan antigen mana yang kemudian akan diekspresikan pada permukaan eritrosit, sedangkan ekspresi dari antigen dipermukaan eritrosit tersebut disebut dengan fenotip, namun terdapat beberapa genotif yang akan memunculkan fenotip yang sama. Berikut adalah matriks yang menggambarkan hubungan genotip RhD dengan fenotipnya :(5)
 
 
Matriks tersebut menunjukkan hubugan genotip dan fenotip yang akan muncul. Huruf yang dicetak miring merupakan genotip, sedangkan huruf yang ditulis biasa merupakan fenotip. Angka 1 pada matriks menunjukkan bahwa genotip akan memunculkan fenotip tertentu, sedangkan angka 0 menunjukkan bahwa genotif tidak akan memunculkan fenotip tertentu.(5)
Untuk golongan darah tertentu, seorang anak mewarisi genotip dari kombinasi genotip kedua orang tuanya. Untuk golongan darah RhD, genotipnya terdiri atas 2 gen dan merupakan kombinasi dari gen d atau D.  Kombinasi dari gen d dan D tersebut akan membentuk 3 genotip, yakni  dd, Dd, dan DD. Masing-masing orang tua akan memberikan salah satu gen dari dua gen yang dimilikinya kepada anaknya, sehingga anaknya akan menerima satu gen dari ayahnya dan satu gen lagi dari ibunya.(5)
 
Inkompatibilitas Rhesus Pada Kehamilan
 
Definisi
Inkompatibilitas rhesus pada kehamilan merupakan suatu kondisi yang terjadi selama kehamilan apabila ibu memiliki Rh- dan bayi yang dikandungnya memiliki Rh+. Akibatnya, tubuh ibu akan membentuk antibodi anti-Rh yang akan melawan eritrosit bayi (isoimunisasi). Kelainan ini juga dikenal sebagai HDFN.(6)(7)
 
Epidemiologi
Risiko terjadinya isoimunisasi RhD selama atau segera setelah kehamilan pertama adalah sekitar 0,7% hingga 1%. Risiko terjadinya anemia fetal akibat isoimunisasi eritrosit adalah sekitar 0,35%, dengan 10% kasus diantaranya membutuhkan transfusi. Isoimunisasi eritrosit terjadi pada sekitar 4000 bayi pertahun dengan 15% kasus diantaranya meninggal sebelum dilahirkan.(7)(8)
 
Etiopatogenesis
Inkompatibilitas RhD akan terjadi apabila seorang wanita yang memiliki Rh- mengandung bayi dengan Rh+. Hal tersebut dapat terjadi apabila wanita dengan Rh- menikah dengan laki-laki dengan Rh+, baik homozigot (DD) maupun heterozigot (Dd). Ketika wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang homozigot, maka probabilitasnya untuk memiliki anak dengan Rh+ adalah 100%, sedangkan apabila ia menikah dengan laki-laki heterozigot maka probabilitasnya adalah 50%. Berikut adalah gambar yang menjelaskan probabilitas tersebut. (Gambar 1)

Gambar 1. Probabilitas rhesus anak dari pasangan ibu Rh- dan ayah Rh+.(6)
 
Selama proses kehamilan, antigen-D yang ada pada eritrosit bayi dapat melintasi plasenta dan memasuki sirkulasi darah ibu. Akibatnya, sistem imun ibu akan merespon masuknya antigen-D untuk pertama kalinya tersebut dengan membentuk antibodi anti-Rh            berupa immunoglobulin M (IgM) sebagai respon inisial. IgM tersebut memiliki ukuran yang besar sehingga tidak dapat melewati plasenta. Oleh karena itu, pada kehamilan pertama biasanya tidak akan terjadi HDFN.(2)(9)
Berbeda dengan kehamilan pertama, apabila ibu dengan Rh- kembali mengandung bayi dengan Rh+, maka antibodi anti-Rh yang dibentuk bukan lagi IgM, melainkan immunoglobulin G (IgG). Immunoglobulin G yang dibentuk tersebut memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga dapat melewati plasenta dan memasuki sirkulasi darah bayi. Setelah memasuki sirkulasi darah bayi, antibodi tersebut dapat berikatan dengan antigen-D yang ada dipermukaan eritrosit bayi dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya  HDFN.(7) Berikut adalah gambar yang menjelaskan tentang proses tersebut.(Gambar 2)

Gambar 2. Proses isoimunisasi pada inkompatibilitas rhesus.(6)
 
HDFN akan menyebabkan anemia pada janin yang akan mengaktifkan mekanisme kompensasi eritropoiesis dari tubuh janin tersebut, tetapi kompensasi tersebut tidak terlalu memadai. Kompensasi terhadap anemia akan menyebabkan sirkulasi hiperdinamik pada janin  selanjutnya akan menyebabkan kardiomegali dan akan berakhir sebagai hidrops fetalis( suatu kondisi yang terdiri dari edema pada kulit janin dan cavitas serosa).  Selain itu, proses hemolisis akan menghasilkan bilirubin sebagai produknya, akibatnya akan terjadi peningkatan kadar bilirubin. Selama masa kehamilan, peningkatan bilirubin akan dibersihkan melalui sirkulasi darah ibu karena bilirubin mampu melewati plasenta , tetapi apabila setelah lahir proses hemolisis berlanjut dan bilirubin terus diproduksi, maka hepar neonatus yang belum matang tidak akan mampu untuk mengonjugasikan bilirubin tersebut. Akibatnya, akan terjadi peningkatan kadar bilirubin indirek yang parah dan jika tidak diobati dapat menyebabkan Kern ikterus, suatu kondisi akan dapat yang menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang parah dan permanen. Kondisi ini ditandai dengan adanya deposisi bilirubin indirek pada ganglia basalis dan nukleus batang otak . Hal ini berkorelasi dengan morbiditas jangka panjang yang terdiri dari cerebral palsy athetoid, gangguan pendengaran dan kecacatan psikomotorik.(7)(8)(10)(11)(12) Berikut adalah gambar yang menjelaskan patofisiologi terjadinya HDFN (Gambar 3)
 

Gambar 3. Patofisiologi HDFN.(12)
 
Tatalaksana
      Tatalaksana kehamilan pada wanita dengan rhesus negatif disajikan dalam allogaritma  dibawah ini (Gambar 4)

Gambar 4. Algoritma tatalaksana kehamilan pada wanita rhesus negatif (2)
 
Skrining Rh Isoimunisasi
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatching sebaiknya dilakukan pada semua wanita hamil pada kunjungan pertama . Jika wanita tersebut memiliki Rh+, maka tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk golongan darah, namun apabila wanita tersebut memiliki Rh-, maka pemeriksaan golongan darah ABO dan Rh suami perlu dilakukan. Apabila hasil pemeriksaan golongan darah suami menunjukkan Rh+, maka hampir semua guideline merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan genotip ayah untuk gen peng-kode Rh-D.(2)
 
Berikut adalah beberapa kemungkinan yang dapat ditemukan pada pemeriksaan antigen pada eritrosit ayah :(13)
  1. Ayah Rh- : Janin akan memiliki Rh-, sehingga janin tersebut tidak berisiko dan tidak membutuhkan intervensi lebih lanjut.
  2. Jika ayah serorang Rh+ heterozigot (D/d) : 50% janin akan memiliki risiko
  3. Jika ayah seorang Rh+ homozigot (D/D) : Janin akan beriko mengalami hydrops fetalis.
 
Semua bayi harus diasumsikan memiliki Rh+ sampai terbukti sebaliknya, namun dengan berbagai pertimbangan, tidak semua negara dapat menerapkan pemeriksaan genotip tersebut, sehingga pada semua kehamilan dengan ibu Rh- dan ayah Rh+ dianggap memiliki risiko terjadinya sensitisasi.(2)
Sejumlah kecil perdarahan (kurang dari 15 ml) tidak bisa dihindari selama masa kehamilan. Untuk mendeteksi sensitisasi hal ini, adanya antibodi anti-D pada sirkulasi maternal biasanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan indirect Coombs test (ICT). Titer antibodi anti-D 1:16 atau terjadi peningkatan >1 dilusi dibandingkan pemeriksaan sebelumnya (misalnya titer anti-D 1:2 menjadi 1:8) dianggap sebagai titer yang kritikal (berpotensi untuk menyebabkan anemia yang signifikan pada janin) meskipun mungkin berbeda antara satu laboratorium dengan yang lainnya.(2)(13)
Ketika pemeriksaan ICT menunjukkan hasil negatif, tes tersebut sebaiknya diulangi setiap 4 minggu, sedangkan apabila ICT positif, maka kehamilan tersebut dikelola sebagai kehamilan yang mengalami isoimunisasi. Pada beberapa wanita mungkin memiliki golongan darah Rh+ lemah dimana hal ini  secara genetik merupakan Rh+ yang memiliki risiko yang rendah untuk memproduksi antibodi anti-D. Wanita tersebut diberikan status D positif lemah dan golongan Rh direpresentasikan sebagai Rh-Du. Tidak ada rekomendasi yang jelas untuk tatalaksan kasus ini dan pada wanita tersebut tidak diberikan profilaksis anti-D apapun.(2)(13)
 
Pencegahan primer isoimunisasi Rh
Untuk wanita yang belum mengalami isoimunisasi, tujuan tatalaksana adalah untuk mencegah terjadinya sensitisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan immunoglobulin anti-D dosis profilaksis untuk mengatasi perdarahan  fetomaternal spontan dan juga berbagai kejadian antepartum yang berpotensi menyebabkan  perdarahan tambahan.(2)
Apabila tidak diberikan profilaksis, diperkirakan 1% wanita Rh- akan membentuk antibodi pada akhir kehamilan Rh+. Sekitar 7-9% wanita lainnya akan tersensitisasi saat persalinan, dan 7-9% lainnya akan membentuk antibodi selama 6 bulan setelah melahirkan dan sekitar 17% wanita akan tersensitisasi pada saat kehamilan kedua. Strategi yang paling efektif untuk mengurangi insiden isoimunisasi Rh adalah dengan memberikan anti-D profilaksis pada saat antenatal atau saat bayi lahir.(2)
 
Profilaksis antenatal
Apabila hasil pemeriksaan ICT negatif pada kunjungan pertama, pemeriksaan diulang dengan interval empat minggu dan jika tetap negatif pada tes berikutnya, maka diberikan immunoglobulin anti-D dosis profilaksis (300 mikrogram, diberikan secara intramuskular) pada minggu ke 28-32 kehamilan. Hal ini akan mengatasi sejumlah kecil perdarahan fetomaternal  dan mencegah terjadinya isoimunisasi. (2)
Terdapat beberapa pendapat mengenai pemberian profilaksis immunoglobulin anti-D, yakni pemberian satu dosis 300 mikrogram pada minggu ke 28 kehamilan versus dua dosis 100-120 mikrogram masing-masing pada minggu ke 28 dan 34 usia kehamilan.Sebagian besar guideline lebih menyukai pemberian dosis tunggal dan menyarankan pemberian dua dosis sebagai regimen alternatif.(2)
  
Profilaksis postpartum
Perdarahan fetomaternal  yang terjadi pada saat persalinan dapat diatasi dengan pemberian profilaksis anti-D dalam waktu 72 jam setelah kelahiran. Pemberian profilaksis 300 mikrogram diberikan apabila bayi memiliki golongan darah Rh+. Jika profilaksis tidak sempat diberikan dalam waktu 72 jam, maka profilaksis dapat diberikan hingga 28 hari setelah persalinan  masih memberikan beberapa manfaat.(2)
 
Pencegahan Sekunder Isoimunisasi Rh
Diagnosis dini
Apabila antibodi Rh-D (anti-D) pada pemeriksaan ICT positif dan mencapai titer kritikal, kehamilan harus ditatalaksana sebagai kehamilan yang telah mengalami isoimunisasi. Tujuan tatalaksana ini adalah mendeteksi anemia pada janin sedini mungkin dan juga menghindari kemungkinan terjadinya perdarahan fetomaternal  (misalnya versi kepala eksternal, trauma eksternal di luar abdomen atau pemeriksaan yang invasif).
Untuk itu pemeriksaan titer antibodi dan ultrasonografi rutin dilakukan setiap minggu. Pemeriksaan ultrasonografi juga perlu dilakukan untuk mengetahui MCA peak systolic velocity (MCA-PSV) dan untuk mengetahui berbagai tanda-tanda hidrops fetalis (edema kulit kepala, efusi pleura, efusi perikardial, ascites dan edema kulit). Titer antibodi 1:128 merupakan titer yang dianggap menyebabkan anemia janin yang signifikan dan setelah titer ini tercapai, kehamilan harus dipantau secara ketat dengan pemeriksaan MCA-PSV.(2)
 
Transfusi Intrauterine
Intrauterine transfusion (IUT) merupakan tatalaksana yang dianggap paling efektif untuk kasus kehamilan isoimunisasi dimana janin mengalami anemia dan tidak cukup matur untuk dilahirkan. Apabila IUT tidak dilakukan, janin akan berada dalam risiko untuk berkembang menjadi hidrops dan mengalami kematian intrauterine.(2)
 
Pencegahan Tersier Isoimunisasi Rh
Setelah bayi dilahirkan, bayi tersebut harus dimonitor secara ketat untuk memantau tanda-tanda anemia dan ikterus, dan jika diperlukan postnatal exchange transfusion dapat dilakukan untuk menyelamatkan bayi.(2)
 
Prognosis
Isoimunisasi Rh merupakan salah satu kondisi dengan prognosis sangat baik apabila dikelola dengan baik oleh tenaga yang ahli.(2)
 
Daftar Pustaka
  1. Ahmad R, De Hass M. Prevention of haemolytic disease of the fetus and newborn with reference to Anti-D. MedCrave Group LLC. 2017.
  2. Agarwal K, Rana A, Ravi AK. Treatment and prevention of Rh Isoimmunization. Journal of Fetal Medicine. 2014;1(2):81-8.
  3. Mitra R, Mishra N, Rath GP. Blood groups systems. Indian journal of anaesthesia. 2014;58(5):524.
  4. Green-top Guideline No. 65. The management of woman with red cell antibodies during pregnncy. RCOG. 2014. 1-26.
  5. Van Sambeeck JH, van Dijk NM, De Kort WL, Schonewille H, Janssen MP. Blood group probabilities by next of kin. Probability in the engineering and informational sciences. 2018:1-21.
  6. McBrain RD, Crowther CA, Middleton P. Anti-D administration in pregnancy for preventing Rhesus alloimmunisation. Cochrane Database of Systematic Review. 2015; 9; 1-31
  7. Berghella V, editor. Maternal-fetal evidence based guidelines. CRC Press; 2011.
  8. Nagamuthu EA, Mudavath P, Prathima P, Bollipogu S. Prevalence of rhesus negativity among pregnant women. International Journal of Research in Medical Sciences. 2016;4(8):3305.
  9. Tripathi R, Singh N. Maternal and perinatal outcome in Rh negative mothers. International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology. 2018;7(8):3141–6.
  10. Chacham S, Reddy DS, Reddy UN, Khan W, Nandita S, Anumula S, Sravani J, Adil F. Neonatal outcomes of Rh-negative pregnancies in a tertiary level neonatal intensive care unit: a prospective study. Journal of Comprehensive Pediatrics. 2016;7(3).
  11. Al-Dughaishi T, Al Harrasi Y, Al-Duhli M, Al-Rubkhi I, Al-Riyami N, Al-Riyami AZ, Pathare AV, Gowri V. Red cell alloimmunization to Rhesus antigen among pregnant women attending a tertiary care hospital in Oman. Oman medical journal. 2016;31(1):77.
  12. De Haas M, Thurik FF, Koelewijn JM, van der Schoot CE. Haemolytic disease of the fetus and newborn. Vox sanguinis. 2015;109(2):99-113.
  13. Vivanti A, et al. Diagnostic accuracy of fetal Rhesus D genotyping using cell-free fetal DNA during the first trimester of pregnancy. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2016.

Post Terkait

Etiopatogenesis dan Tatalaksana Kardiomiopati Peripartum

Tanggal Publikasi: 02 Sep 2019 09:43 | 3697 View

Kardiomiopati peripartum didefinisikan sebagai disfungsi ventrikel kiri yang mengarah ke gagal jantung, tanpa diketahui penyebabnya serta terjadi pada bulan terakhir kehamilan hingga 5 bulan postpartum. Kardiomiopati peripartum menjadi penyebab meningkatnya…

Selengkapnya

Upaya Pencegahan Trauma Perinium pada Persalinan

Tanggal Publikasi: 12 Jul 2019 14:59 | 3450 View

Trauma perineum didefinisikan sebagai kerusakan bodi/perineum yang terjadi selama proses persalinan, baik secara spontan atau karena episiotomi. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan sekitar 85% dari perempu an yang melahirkan akan…

Selengkapnya

Masalah Urogenital pada Kehamilan dan Postpartum

Tanggal Publikasi: 11 Jun 2019 15:09 | 3585 View

Selama kehamilan ibu akan mengalami perubahan anatomi fisiologis pada sistem organ tubuhnya. Pengenalan perubahan anatomi fisiologis tubuh selama kehamilan dapat mengadaptasikan ibu terhadap perubahan tersebut. Perubahan anatomi dan adaptasi fisiologissistem…

Selengkapnya

Penggunaan Pesarium pada Stres Inkontinensia Urin

Tanggal Publikasi: 06 May 2019 17:40 | 1582 View

Penggunaan pessarium seharusnya dipertimbangkan untuk semua wanita yang menderita SUI, khususnya bila diputuskan penanganan secara konservatif.

Selengkapnya

Etiologi dan Faktor Risiko Stres Inkontinensia Urin

Tanggal Publikasi: 30 Sep 2018 08:08 | 4147 View

Inkontinensia urin didefinisikan oleh International Continence Society Standardization Committee sebagai suatu kondisi keluarnya urin yang tidak disadari dan merupakan masalah sosial atau masalah higienitas.

Selengkapnya